Dasar Hukum :
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM;
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT;
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan;
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO);
- Undang-Undang Politik (Undang-undang 2 Tahun 2008 & UU No. 42 Tahun 2008);
- Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender (PUG) ;
- Kerpres No. 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan yang diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2005.
Perlindungan Hukum Hak Asasi Perempuan Di Indonesia
Kata hukum dalam tulisan ini adalah hukum secara normatif, yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif) yang ditetapkan pada orde reformasi. Adapun isi perundang-undangan yang dipilih untuk diteliti dibatasi hanya pada peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi hak-hak dasar perempuan.Perjuangan kaum perempuan dalam mencapai kesetaraan dan keadilan yang telah dilakukan sejak dahulu, ternyata belum dapat mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan untuk dapat sejajar dengan kaum laki-laki. Sekalipun kekuasaan tertinggi di negeri ini pernah dipegang oleh perempuan, yakni Presiden Megawati Soekarno Putri, dan telah banyak kaum perempuan yang memegang jabatan strategis dalam pemerintahan, ketidakadilan gender dan ketertinggalan kaum perempuan masih belum teratasi sebagaimana yang diharapkan. Kaum perempuan tetap saja termarjinalkan dan tertinggal dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam bidang hukum.
Hal ini merupakan tantangan berat bagi kaum perempuan dan pemerintah. Diantara Peraturan Perundang-undangan yang mengandung muatan perlindungan hak asasi perempuan adalah: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-undang Politik (UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 42 Tahun 2008). Kemudian Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender (PUG) dan Kerpres No. 181 Tahun 199 tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan yang diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2005.
1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
Setelah merdeka selama 44 tahun, Indonesia baru mempunyai undang-undang HAM pada tahun 1999. Berbeda dengan Amerika, Inggris maupun Perancis, yang mempunyai bill of rights sejak awal kemerdekaannya, dan menjadikan bill of rights mereka sebagai bagian tidak terpisah dari konstitusi. Konstitusi Indonesia pada awalnya sangat sedikit sekali mengatur HAM. UU ini mengartikan HAM sebagai “…seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia” (Pasal 1 ayat (1)).
Dengan adanya UU HAM, semua peraturan perundang-undangan harus sejalan dengan prinsip-prinsip perlindungan HAM seperti diatur dalam UU ini. Diantaranya penghapusan diskriminasi berdasarkan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Pelarangan diskriminasi diatur dalam Pasal 3 ayat (3), yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”. Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (3) menjelaskan bahwa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin telah dilarang oleh hukum. Aturan hukum lainnya harus meniadakan diskriminasi dalam setiap aspek kehidupan, sosial, politik, ekonomi, budaya dan hukum. Pasal-pasalnya dalam UU HAM ini selalu ditujukan kepada setiap orang, ini berarti semua hal yang diatur dalam UU HAM ini ditujukan bagi semua orang dari semua golongan dan jenis kelamin apapun.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pada awalnya tidaklah dianggap sebagai pelanggaran hak asasi perempuan. Letaknya pada ranah domestik menjadikan KDRT sebagai jenis kejahatan yang sering tidak tersentuh hukum. Ketika ada pelaporan KDRT kepada pihak yang berwajib, maka biasanya cukup dijawab dengan selesaikan dengan kekeluargaan. Sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), korban tidak mendapat perlindungan hukum yang memadai.
Kasus KDRT, sebelum keluarnya UU PKDRT selalu diidentikan sebagai sesuatu yang bersifat domestik, karenanya membicarakan adanya KDRT dalam sebuah keluarga adalah aib bagi keluarga yang bersangkutan. Sehingga penegakan hukum terhadap kasus KDRT pun masih sedikit. Penegakan hukum yang minim terhadap kasus KDRT diakibatkan beberapa hal, diantaranya pemahaman terhadap akar permasalahan KDRT itu sendiri baik dari perspekti hukum, agama maupun budaya. Untuk itu upaya diseminasi hak asasi perempuan harus dilakukan secara efektif untuk mengurangi jumlah korban yang jatuh akibat KDRT. Potret budaya bangsa Indonesia yang masih patriarkhis, sangat tidak menguntungkan posisi perempuan korban kekerasan. Seringkali perempuan korban kekerasan disalahkan (atau ikut disalahkan) atas kekerasan yang dilakukan pelaku (laki-laki). Misalnya, isteri korban KDRT oleh suaminya disalahkan dengan anggapan bahwa KDRT yang dilakukan suami korban adalah akibat perlakuannya yang salah kepada suaminya.
Stigma korban terkait perlakuan (atau pelayanan) kepada suami ini telah menempatkan korban seolah seburuk pelaku kejahatan itu sendiri. Dengan demikian dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.Dengan ditetapkannya Undang-Undang PKDRT, permasalahan KDRT yang sebelumnya dianggap sebagai masalah domestik diangkat ke ranah publik, sehingga perlindungan hak korban mendapat payung hukum yang jelas. Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini tidak hanya meliputi suami, isteri, dan anak, melainkan juga orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dan menetap dalam rumah tangga serta orang yang membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pasal 2). Asas PKDRT sendiri seperti dijelaskan dalam Pasal 3 adalah untuk: (1) penghormatan hak asasi manusia; (2) keadilan dan kesetaraan gender; (3) nondiskriminasi; dan (4) perlindungan korban. Adapun tujuan PKDRT sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 adalah untuk: (1) mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; (2) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; (3) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; (5) memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Kekerasan terhadap perempuan, secara lebih spesifik sering dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender. Hal ini disebabkan kekerasan terhadap perempuan seringkali diakibatkan oleh ketimpangan gender, yaitu dengan adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Hal ini antara lain dapat terefleksikan dari kekerasan dalam rumah tangga yang lebih sering dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan lebih kepada korban yang lebih lemah. Kekerasan berbasis gender juga terlihat pada kasus perkosaan yang lebih sering dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan daripada sebaliknya. Kekerasan berbasis gender ini memberikan penekanan khusus pada akar permasalahan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan, yaitu bahwa diantara pelaku dan korbannya terdapat relasi gender dimana dalam posisi dan perannya tersebut pelaku mengendalikan dan korban adalah orang yang dikendalikan melalui tindakan kekerasan tersebut. Inilah yang dimaksud dengan ketimpangan historis dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan 1993.Kekerasan berbasis gender ini sebenarnya tidak hanya difokuskan kepada perempuan sebagai korban, namun juga kepada pelayan laki-laki, supir laki-laki atau bawahan laki-laki lainnya. Karena dasar dari kekerasan berbasis gender ini adalah ketimpangan relasi kekuasaan, maka yang menjadi penekanan adalah kekerasan yang dilakukan kepada pihak yang tersubordinasi kedudukannya4. Adapun penyebab yang menjadi asumsi terjadinya kekerasan terhadap perempuan diantaranya:
- Adanya persepsi tentang sesuatu dalam benak pelaku, bahkan seringkali yang mendasari tindak kekerasan ini bukan sesuatu yang dihadapi secara nyata. Hal ini dibuktikan dengan realitas di lapangan yang menunjukkan bahwa pelaku telah melakukan tindak kekerasan tersebut tanpa suatu alasan yang mendasar;
- Hukum yang mengatur tindak kekerasan terhadap perempuan masih bias gender. Seringkali hukum tidak berpihak kepada perempuan yang menjadi korban kekerasan, ketidak-berpihakan tersebut tidak saja berkaitan dengan substansi hukum yang kurang memperhatikan kepentingan perempuan atau si korban, bahkan justru belum adanya substansi hukum yang mengatur nasib bagi korban kekerasan, yang umumnya dialami perempuan;
- Ketentuan relasi gender dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga (Pasal 31 ayat (3)). Pasal ini jelas menempatkan seorang suami sebagai satu-satunya kepala keluarga. Oleh karenanya dialah yang berhak mengatas namakan kepentingan anggota keluarganya dalam setiap persoalan. Pasal ini merupakan salah satu Pasal yang mengandung bias gender, karena menempatkan perempuan (isteri) pada posisi yang lebih rendah, berpadu dengan mitos yang melekatkan tanggung jawab pengendalian reproduksi pada perempuan dengan tugas domestiknya, sehingga secara psikologis dan yuridis seorang suami seakan-akan dibolehkan melakukan kekerasan kepada anggota keluarganya, terutama kepada isteri dan anak-anaknya.
Kekurangan dari undang-undang ini adalah lingkup pengaturan yang dibatasi hanya dalam cakupan domestik, yaitu mereka yang memiliki hubungan kekeluargaan atau berada dalam satu domisili yang sama, sehingga tidak dapat diberlakukan kepada korban yang tidak memenuhi kategori lingkup domestik tersebut. Karenanya sulit untuk mengatakan bahwa secara umum semua bentuk kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, ekonomi maupun kekerasan seksual (terutama terhadap korban perempuan) sudah mendapat pengaturan di dalam hukum pidana Indonesia. Meskipun demikian, dalam pandangan yang progresif, hakim dapat mempertimbangkan diaturnya jenis-jenis kekerasan tersebut di dalam UU PKDRT dari perspektif perlindungan terhadap korban kekerasan, sebagai salah satu acuan dalam memutus suatu perkara kekerasan terhadap perempuan.
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Undang-undang Nomor Tahun 2006 tentang kewarganegaraan ini menggantikan Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan. Undang-undang No. 62 Tahun 1958 secara filosofis, yuridis, dan sosiologis dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan Republik Indonesia. Secara filosofis, UU 62/58 masih mengandung ketentuan-ketentuan yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain, karena bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antarwarga negara, serta kurangmemberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak. Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan undang-undang tersebut adalah UUDS 1950 yang sudah tidak berlaku lagi sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada UUD 1945. Dalam perkembangannya, UUD 1945 telah mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak warga negara. Secara sosiologis, UU tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender.
Diantara asas khusus yang menjadi dasar berlakunya UU Kewaganegaraan adalah asas non diskriminatif, yaitu berupa tidak membedakan perlakuan dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin, dan gender. Asas lainnya adalah asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam segal hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya.Pengaturan yang menghilangkan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin diantaranya adalah dibolehkannya seorang isteri, yang melakukan perkawinan campuran berbeda kewarganegaraan, untuk memilih kewarganegaraannya sendiri. Isteri diperbolehkan memilih untuk tetap dalam kewarganegaraan Indonesia atau pindah kewarganegaraan mengikuti kewarganegaraan suaminya, sekalipun hukum negara asal suaminya, menuntut kewarganegaraan isteri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut (Pasal 26 ayat (1) dan (3)). Aturan dalam UU Kewarganegaraan sebelumnya (UU 62/1958) mengakibatkan seorang isteri kehilangan kewarganegaraan Indonesia apabila menikah dengan laki-laki WNA, karena harus mengikuti kewarganegaraan suaminya.
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO)
Perdagangan orang (trafficking in person) sebenarnya merupakan hal yang sudah ada sejak lama. Perdagangan orang ini sebenarnya berakar dari budaya perbudakan yang dipraktekkan sejak lama. Hal itu dapat dilihat, ketika bangsa kulit putih menangkapi orang-orang kulit hitam (orang Negro) di Afrika dan menjualnya ke pengusaha-pengusaha kulit putih di Amerika. Orang kulit hitam yang dibeli tersebut, dijadikan budak oleh para pengusaha kulit putih di Amerika. Para budak ini menjadi milik pengusaha yang membelinya, dan dapat diperlakukan sekehendaknya. Sebagai budak, tentu mereka tidak mempunyai hak apa pun. Para budak ini hanya mengabdi kepada majikannya, seorang manusia tidak memiliki kebebasan hidup sebagaimana mestinya.
Di Indonesia dapat dilihat pada waktu dijajah Belanda. Rakyat Indonesia ketika itu kedudukannya tidak sama dengan orang-orang Belanda. Pembedaan rakyat dalam golongan-golongan Eropa, Bumiputera dan Timur Asing ditetapkan di dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling (I.S). Pembedaan rakyat dalam golongan-golongan ini tentu sangat bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia. Pasal 163 I.S ini menjadi dasar dari peraturan perundang-undangan, pemerintahan dan peradilan di “Hindia Belanda” dahulu. R. Supomo mengemukakan pembedaan ini pada pokoknya didasarkan pada jenis kebangsaan. Karena itu, terjadi “rasdiskriminasi” (pembedaan-pembedaan bangsa) di dalam perundang-undangan, pemerintahan dan peradilan “Hindia Belanda”.
Jumlah kasus perdagangan orang terus bertambah dari tahun ke tahun. Kedutaan Besar (Kedubes) RI di Kuala Lumpur pernah melansir jumlah pengaduan dari warga negara Indonesia (WNI) yang mengalami kasus perdagangan orang. Selama Maret 2005 hingga Juli 2006, data International Organization for Migration (IOM) menunjukkan, sebanyak 1.231 WNI telah menjadi korban bisnis perdagangan orang. Meskipun tidak selalu identik dengan perdagangan orang, sejumlah sektor seperti buruh migran, pembantu rumah tangga (PRT) dan pekerja seks komersial ditengarai sebagai profesi yang paling rentan dengan human trafficking.
Definisi dari perdagangan orang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) UU PTPPO adalah: “Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisirentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan ekspolitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.
Perdagangan orang adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM, karena menghilangkan hak dasar yang seharusnya dimiliki setiap orang, yaitu hak atas kebebasan. Hal ini tentu saja melanggar berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional. Indonesia sendiri sebelum keluarnya UU PTPPO telah memiliki beberapa aturan yang melarang perdagangan orang. Pasal 297 KUHP misalnya, mengatur larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa. Selain itu, Pasal 83 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA), juga menyebutkan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk sendiri atau dijual. Namun peraturan-peraturan tersebut tidak merumuskan pengertian perdagangan orang secara tegas. Bahkan Pasal 297 KUHP memberikan sanksi terlalu ringan dan tidak sepadan (hanya 6 tahun penjara) bila melihat dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang. Karena itu, sudah semestinya ada sebuah peraturan khusus tentang tindak pidana perdagangan orang yang mampu menyediakan landasan hukum formil dan materiil sekaligus. UU itu harus mampu mengurai rumitnya jaringan perdagangan orang yang berlindung di balik kebijakan resmi negara. Misalnya penempatan tenaga kerja di dalam dan luar negri. Demikian juga pengiriman duta kebudayaan, perkawinan antarnegara, hingga pengangkatan anak. Keberadaan undang-undang ini merupakan bukti keseriusan Indonesia untuk mengurangi bahkan menghapuskan perdagangan orang (trafficking in person).
5. Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang terakhir telah diubah dengan Undang-Undang 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang terakhir diganti dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, kedua Undang-undang ini merumuskan aturan tentang bentuk diskriminasi positif (affirmative action) berupa kuota 30% bagi perempuan di ranah politik Indonesia.
Tindakan Khusus Sementara (Affirmative Action), yang diistilahkan dengan keterwakilan perempuan. Ani Widyani Soetjipto mendefinisikan secara umum affirmative action sebagai tindakan pro-aktif untuk menghilangkan perlakuan diskriminasi terhadap satu kelompok sosial yang masih terbelakang. Koalisi Perempuan Indonesia, mengatakan bahwa affirmative action merupakan kebijakan, peraturan atau program khusus yang bertujuan untuk mempercepat persamaan posisi dan kondisi yang adil bagi kelompok-kelompok yang termarjinalisasi dan lemah secara sosial dan politik, seperti kelompok miskin, penyandang cacat, buruh, petani, nelayan dan lain-lain, termasuk di dalamnya kelompok perempuan. Shidarta mengemukakan bahwa tindakan affirmatif (affirmative action) diartikan sebagai upaya meningkatkan hak atau kesempatan bagi orang yang semula tidak/kurang beruntung (disadvantaged) agar dapat mengenyam kemajuan dalam waktu tertentu.
Affirmative action juga dapat dijadikan sebagai suatu koreksi dan kompensasi atas diskriminasi, marginalisasi dan eksploitasi yang dialami oleh kelompok-kelompok sosial yang tertinggal. Koreksi tersebut dilakukan dalam memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna tercapainya kesetaraan dan keadilan di semua bidang kehidupan, sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, pertahanan dan keamanan, yang kemungkinan besar sudah lama tidak pernah dinikmati oleh kelompok sosial yang tertinggal. Apabila hal ini dihubungkan dengan ketertinggalan kaum perempuan, maka dalam mengejar ketertinggalan tersebut dapat dilakukan dengan affirmative action. Hal ini sesuai dengan pendapat Ani Widyani Soetjipto yang mengatakan bahwa tujuan utama affirmative action terhadap perempuan, adalah untuk membuka peluang kepada perempuan agar mereka yang selama ini sebagai kelompok marjinal bisa terintegrasi dalam kehidupan secara adil. Menurutnya, ciri semua tindakan affirmative action adalah sifatnya sementara. Maksudnya adalah bahwa “ketika kelompok-kelompok yang dilindungi itu telah terintegrasi dan tidak lagi terdiskriminasi, kebijakan ini bisa dicabut karena lahan persaingan dan kompetisi telah cukup adil bagi mereka untuk bersaing bebas”
Perjuangan perempuan dalam meningkatkan representasi perempuan di legislatif melalui affirmative action dapat dilakukan dengan melibatkan kaum perempuan lebih banyak aktif di partai politik. Memberdayakan perempuan dalam partai politik adalah merupakan langkah paling awal untuk mendorong agar kesetaraan dan keadilan bisa dicapai antara laki-laki dan perempuan di dunia publik dalam waktu tidak terlalu lama. Langkah ini diperlukan agar jumlah perempuan di lembaga legislatif bisa seimbang jumlahnya dengan laki-laki. Pada affirmative action, yang dianalisa adalah persoalan diskriminasi di tingkat kelompok sosial tertentu. Dalam konsep ini, tindakan non-diskriminatif itu harus memperhatikan karakteristik yang ada dalam institusi-institusi seperti gender atau ras. Secara tekstual kata affirmative action tidak ditemukan dalam UUD 1945 maupun peraturan pelaksanaannya. Landasan konstitusional untuk affirmative action di Indonesia adalah Pasal 28 H ayat (2) dan 28 I ayat (2) UUD 1945. Hal itu dapat ditafsirkan dari kata “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus…dst” dan “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun …dst”. Memberi kemudahan dan perlakuan khusus dalam membebaskan orang dari perlakuan diskriminatif dapat dilakukan melalui tindakan affirmatif. Dengan demikian, tindakan affirmatif mempunyai dasar konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 46 menjelaskan tentang keharusan sistem Pemilihan Umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif meningkatkan partisipasi keterwakilan perempuan.
Peningkatan sumberdaya perempuan di dalam partai politik diharapkan dapat mempermudah pemenuhan kuota 30% tersebut. Namun, pencantuman sistem kuota dalam peraturan perundang-undangan akan menjadi mubajir apabila kaum perempuan itu sendiri tidak mau berjuang dengan meningkatkan kemauan dan kemampuannya dalam bidang politik.
6. Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender (PUG)
Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender (PUG) seluruh sendi kehidupan bernegara. Dalam konsideran Inpres ini disebutkan dua hal, yaitu:
- Bahwa dalam rangka meningkatkan kedudukan, peran, dan kualitas perempuan, serta upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dipandang perlu melakukan strategi pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses pembangunan nasional;
- Bahwa pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses pembangunan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan fungsional semua instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah.
Inpres ini menjadi dasar adanya berperspektif gender bagi seluruh kebijakan dan program pembangunan nasional, tanpa kecuali. Baik kebijakan di pusat maupun di daerah haruslah berperspektif gender, apabila tidak maka kebijakan tersebut harus diganti.
7. Kerpres No. 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan yang diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2005
Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan adalah mekanisme nasional untuk penegakkan Hak Asasi Manusia perempuan Indonesia. Komnas Perempuan lahir dari rahim pergulatan gerakan perempuan Indonesia dan merupakan jawaban pemerintah RI terhadap tuntutan gerakan perempuan agar negara bertanggungjawab terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan selama konflik dan kerusuhan Mei 1998. Presiden Habibie meresmikan pembentukan Komnas Perempuan melalui Keppres Nomor 181 tahun 1998, yang kemudian diubah dengan Perpres Nomor 65 tahun 2005.
Pembentukan Komnas Perempuan berdasarkan Pasal 1 Perpres Nomor 65 Tahun 2005 adalah, “Dalam rangka pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan terhadap perempuan serta penghapusan segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan” Adapun tujuan dari Komnas Perempuan sesuai Pasal 2 adalah untuk:
- Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia;
- Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia perempuan.Komnas Perempuan adalah salah satu lembaga negara yang bersifat Adapun tugas dari Komnas Perempuan sesuai Pasal 4 Perpres Nomor 65 Tahun 2005 adalah:
- Menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan serta penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan;
- Melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berbagai instrumen internasional yang relevan bagi perlindungan hak-hak asasi manusia perempuan;
- Melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak asasi manusia perempuan serta penyebarluasan hasil;
- Pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan;
- Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif dan yudikatif serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak-hak asasi manusia perempuan;
- Mengembangkan kerja sama regional dan intemasional guna meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak-hak asasi manusia
Mengacu pada mandat Perpres Nomor 65 Tahun 2005 maupun Rencana Strategis Komnas Perempuan 2007-2009, kelima subkomisi serta perangkat kelembagaan lainnya Kesekjenan, Dewan Kelembagaan, Gugus Kerja dan Panitia Ad Hoc) telah melaksanakan program & kegiatan yang mencakup enam (6) area atau isu utama, yaitu: (1) Pemantauan & pelaporan HAM perempuan; (2) Penguatan penegak hukum & mekanisme HAM nasional; (3) Negara, agama dan HAM perempuan; (4) Mekanisme HAM internasional; (5) Peningkatan partisipasi masyarakat; dan (6) Kelembagaan.
Perkawinan sejatinya menyatukan dua orang yang berbeda yang memilih untuk bersama, namun seringkali pertengkaran yang terjadi antara suami istri menjadi sebab keduanya berpisah dan bercerai. Baik perceraian karena istri menggugat cerai suaminya ataupun sang suami yang mengajukan permohonan ikrar talak untuk istrinya. Sebagaimana perkawinan melahirkan akibat hukum, perceraian juga melahirkan akibat hukum bagi keduanya, salah satunya adalah ditetapkannya kewajiban atas suami untuk memberikan hak istri yang diceraikan. Persoalan akibat hukum dalam perceraian merupakan persoalan pemenuhan hak yang dibebankan oleh hakim kepada suami atas istri yang diceraikannya, karena sejatinya Perceraian dianggap ada jika dilakukan dihadapan Persidangan, sehingga pemenuhan hak terhadap istri yang diceraikan diatur oleh Undang-Undang dan dilbebankan melalui putusan hakim. Namun, ketentuan kewajiban suami memberikan hak istri baik nafkah, maskan, dan kiswah hanya berlaku bagi istri yang ditalak suami, dan tidak berlaku bagi istri yang menggugat suami. Sebagaimana dalam UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 149 huruf b menyebutkan bahwa bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberi nafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas istri selama masa iddah. Kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Nafkah dalam hal ini meliputi nafkah iddah istri maupun anak jika sudah memiliki anak, sedangkan maskan adalah tempat tinggal dan kiswah adalah pakaian, sehingga selama menjalani masa iddah (menunggu), kebutuhan istri dalam ketiga hal tersebut masih menjadi kewajiban suami.
Sebagaimana tujuan pemberlakuan hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum dengan penegakan hukum yang seharusnya. Jaminan terhadap pemenuhan hak serta pemenuhan hak adalah satu kesatuan dari penegakan keadilan itu sendiri. Dalam Undang- Undang No. 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 50 Tahun 2009 tentang Pengadilan Agama, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman ataupun dalam Undang-Undang lain tidak diatur tentang tata cara atau akibat hukum dari tidak terpenuhinya hak yang dibebankan hakim kepada suami yang mentalak istrinya. Dalam artian, apabila suami tidak memberikan nafkah, kiswah dan maskan bagi istri yang ia ceraikan, maka tidak ada sanksi hukum yang akan menjeratnya. Dalam banyak kasus misalnya, pemenuhan hak istri yang tidak dilakukan sebelum pengucapan ikrar talak seringkali hanya menjadi putusan saja tanpa ada realisasi atau itikad baik dari suami untuk memenuhi kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, sehingga hak- hak perempuan yang diceraikan menjadi tidak terpenuhi, oleh karena itu Pengadilan Agama sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang untuk menegakkan keadilan bagi semua masyarakat pencari keadilan.
Sekilas, persoalan pemenuhan hak istri yang tidak memiliki sanksi hukum terkesan tidak adil, namun berbeda dengan realita yang terjadi bahkan hampir di seluruh Pengadilan Agama di Indonesia. Logikanya pemenuhan nafkah terlebih nafkah iddah adalah ketika istri menjalankan masa iddah, yakni 3 kali suci. Dimana, realisasi tersebut setidaknya diberikan setelah putusnya perkawinan ditandai dengan diucapkannya ikrar talak dihadapan persidangan. Namun, dalam realitanya, Majelis Hakim tidak akan memberikan izin bagi suami yang akan mentalak istrinya sebelum kewajiban yang dibebankan padanya dipenuhi terlebih dahulu. yakni pemenuhan terhadap hak yang dibebankan lebih diutamakan daripada putusnya perkawinan itu sendiri, Jika tidak, maka pengucapan ikrar talak akan ditunda sampai dengan ia bisa memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya atau jika istri berkehendak lain, dan hal tersebut merupakan bagian dari kepedulian terhadap perempuan dan hak-hak yang telah melekat padanya. Pemenuhan hak istri yang diceraikan sebelum pengucapan Ikrar Talak telah mendapat kekuatan hukum yuridis, dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.3 Tahun 2017 dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan Dengan Hukum.
Dimana kedua peraturan tersebut telah memberikan jaminan pemenuhan hak istri yang diceraikan, bahkan lebih luas daripada itu, peraturan tersebut juga berbicara tentang bagaimana mengadili perempuan yang berhadapan dengan hukum serta pemenuhan terhadap hak-hak yang melekat padanya. Dengan dikeluarkannya PERMA dan SEMA tersebut, maka persoalan pemenuhan hak-hak istri yang diceraikan oleh suaminya mendapatkan kekuatan hukum, selama ini secara normatif hal tersebut belum diatur, meskipun dalam prakteknya pemenuhan terhadap hak-hak istri yang diceraikan suaminya menjadi hal penting yang tidak luput dari perhatian para aparatur penegak hukum. Penegakan terhadap hak-hak perempuan yang sudah dijamin oleh Undang-Undang menjadi bagian tidak terpisahkan dari penegakan keadilan secara universal.
- Disclaimer
Seluruh isi data dan informasi dalam Legal Brief ini merupakan kompilasi dari sumber-sumber terpercaya. Legal Brief ini tidak dimaksudkan dan tidak seharusnya dianggap sebagai nasihat atau opini hukum. Tidak disarankan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang ada pada layanan ini tanpa mencari layanan profesional terlebih dahulu.
Penutup
Jika Anda memiliki pertanyaan atau memerlukan lebih lanjut konsultasi mengenai legal brief ini, silakan menghubungi kami di :
- Timoty Ezra Simanjuntak – Managing Partner – ezra@simanjuntaklaw.co.id
- Efrianza – Associate – simanjuntakandpartners@gmail.com
- Yudea Pasaribu – Associate – yudea@simanjuntaklaw.co.id
- Website : simanjuntaklaw.co.id
- Instagram : simanjuntaklaw