Simanjuntak & Partners

Hak Asasi Perempuan – Seri 1

Legal Brief

Dasar Hukum         :

  1. Undang-Undang Nomor  39  Tahun  1999  tentang  HAM;
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
  3. Undang-Undang Nomor  23  Tahun  2004  tentang  Penghapusan  KDRT;
  4. Undang-Undang Nomor  12  Tahun  2006 tentang Kewarganegaraan;
  5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak  Pidana  Perdagangan  Orang (TPPO);
  6. Undang-Undang Politik (Undang-undang   2  Tahun  2008 & UU  No.  42  Tahun  2008);
  7. Inpres Nomor  9  Tahun  2000  tentang  Pengarustamaan  Gender  (PUG) ;
  8. Kerpres  No.  181  Tahun  1998 tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau  Komnas  Perempuan  yang  diubah  dengan  Perpres  Nomor  65  Tahun  2005.

Perlindungan Hukum Hak Asasi Perempuan Di Indonesia

Kata  hukum  dalam tulisan  ini  adalah  hukum  secara  normatif,  yaitu  berupa  peraturan  perundang-undangan  yang  berlaku  (hukum  positif)  yang  ditetapkan  pada  orde  reformasi.  Adapun isi  perundang-undangan  yang  dipilih  untuk diteliti dibatasi hanya pada peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi hak-hak dasar  perempuan.Perjuangan  kaum  perempuan  dalam  mencapai  kesetaraan  dan  keadilan  yang  telah  dilakukan  sejak  dahulu,  ternyata  belum  dapat  mengangkat  harkat  dan  martabat  kaum  perempuan  untuk  dapat  sejajar  dengan  kaum  laki-laki.  Sekalipun  kekuasaan  tertinggi  di  negeri  ini  pernah  dipegang  oleh  perempuan,  yakni  Presiden  Megawati  Soekarno  Putri,  dan  telah  banyak  kaum  perempuan  yang  memegang  jabatan  strategis  dalam  pemerintahan,  ketidakadilan  gender  dan  ketertinggalan  kaum  perempuan  masih  belum  teratasi  sebagaimana  yang  diharapkan. Kaum perempuan tetap saja termarjinalkan dan tertinggal dalam segala aspek kehidupan,  termasuk  dalam  bidang  hukum.

Hal  ini  merupakan  tantangan  berat  bagi  kaum  perempuan  dan  pemerintah.  Diantara  Peraturan  Perundang-undangan yang mengandung muatan perlindungan hak asasi perempuan adalah: Undang-Undang  Nomor  39  Tahun  1999  tentang  HAM,  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  2004  tentang  Penghapusan  KDRT,  Undang-Undang  Nomor  12  Tahun  2006 tentang Kewarganegaraan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan  Tindak  Pidana  Perdagangan  Orang,  dan  Undang-undang  Politik  (UU  No.  2  Tahun  2008  dan  UU  No.  42  Tahun  2008).  Kemudian  Inpres  Nomor  9  Tahun  2000  tentang Pengarustamaan Gender (PUG) dan Kerpres No. 181 Tahun 199 tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan  yang diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun  2005.

1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

Setelah  merdeka  selama  44  tahun,  Indonesia  baru  mempunyai  undang-undang  HAM  pada  tahun  1999.  Berbeda  dengan  Amerika,  Inggris  maupun  Perancis,  yang  mempunyai  bill  of  rights  sejak  awal  kemerdekaannya,  dan  menjadikan bill of rights mereka sebagai bagian tidak terpisah dari konstitusi. Konstitusi  Indonesia  pada  awalnya  sangat  sedikit  sekali  mengatur  HAM.  UU  ini  mengartikan  HAM  sebagai  “…seperangkat  hak  yang  melekat  pada  hakikat  dan  keberadaan  manusia  sebagai  makhluk  Tuhan  Yang  Maha  Esa  dan  merupakan  anugerah-Nya  yang  wajib  dihormati,  dijunjung  tinggi  dan  dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia” (Pasal 1 ayat (1)).

Dengan adanya UU HAM, semua peraturan perundang-undangan harus sejalan dengan prinsip-prinsip perlindungan HAM seperti diatur dalam UU ini. Diantaranya penghapusan  diskriminasi berdasarkan agama, suku,  ras,  etnik,  kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Pelarangan diskriminasi diatur dalam Pasal 3 ayat (3), yang berbunyi: “Setiap orang  berhak  atas perlindungan  hak  asasi  manusia  dan kebebasan dasar manusia, tanpa  diskriminasi”.  Pasal  1  ayat  (3)  dan  Pasal  3  ayat  (3)  menjelaskan bahwa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin telah dilarang oleh hukum. Aturan hukum lainnya harus meniadakan diskriminasi dalam setiap aspek kehidupan, sosial, politik, ekonomi, budaya dan hukum. Pasal-pasalnya dalam UU HAM ini selalu ditujukan  kepada setiap  orang, ini  berarti  semua hal yang diatur dalam UU HAM ini ditujukan bagi semua orang dari semua golongan dan jenis kelamin apapun.

 

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pada awalnya tidaklah dianggap sebagai  pelanggaran hak asasi perempuan. Letaknya pada ranah domestik menjadikan KDRT sebagai jenis kejahatan yang sering tidak tersentuh hukum. Ketika ada pelaporan KDRT kepada pihak yang berwajib, maka biasanya cukup dijawab dengan selesaikan dengan kekeluargaan. Sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), korban tidak mendapat perlindungan hukum yang memadai.

Kasus KDRT, sebelum keluarnya UU PKDRT selalu diidentikan sebagai sesuatu yang bersifat domestik, karenanya membicarakan adanya KDRT dalam sebuah keluarga  adalah  aib  bagi  keluarga  yang  bersangkutan.  Sehingga  penegakan  hukum terhadap kasus KDRT pun masih sedikit. Penegakan hukum yang minim terhadap  kasus  KDRT diakibatkan beberapa  hal, diantaranya pemahaman terhadap akar permasalahan KDRT itu sendiri baik dari  perspekti hukum, agama  maupun  budaya. Untuk itu upaya diseminasi  hak  asasi  perempuan  harus  dilakukan  secara  efektif  untuk  mengurangi  jumlah  korban  yang  jatuh  akibat  KDRT.  Potret  budaya  bangsa  Indonesia  yang  masih  patriarkhis, sangat  tidak  menguntungkan  posisi  perempuan  korban  kekerasan.  Seringkali  perempuan  korban  kekerasan  disalahkan  (atau  ikut  disalahkan) atas  kekerasan yang  dilakukan  pelaku  (laki-laki).  Misalnya,  isteri  korban  KDRT  oleh  suaminya  disalahkan  dengan  anggapan  bahwa  KDRT yang  dilakukan  suami  korban  adalah akibat perlakuannya yang salah kepada suaminya.

Stigma korban terkait perlakuan  (atau  pelayanan)  kepada  suami  ini  telah  menempatkan  korban  seolah  seburuk  pelaku kejahatan itu  sendiri. Dengan demikian dibutuhkan  perangkat  hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam  rumah  tangga.Dengan ditetapkannya Undang-Undang PKDRT, permasalahan KDRT yang sebelumnya dianggap  sebagai  masalah  domestik  diangkat  ke  ranah  publik,  sehingga  perlindungan  hak  korban  mendapat  payung  hukum  yang  jelas.  Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini tidak hanya meliputi suami, isteri, dan  anak, melainkan  juga  orang-orang yang mempunyai  hubungan keluarga dan menetap dalam rumah tangga serta orang yang membantu rumah tangga  dan  menetap  dalam  rumah  tangga  tersebut (Pasal  2). Asas  PKDRT sendiri  seperti  dijelaskan  dalam  Pasal  3  adalah  untuk:  (1)  penghormatan  hak asasi manusia; (2) keadilan dan kesetaraan gender; (3) nondiskriminasi; dan (4) perlindungan korban. Adapun tujuan PKDRT sebagaimana disebutkan dalam  Pasal 4 adalah  untuk:  (1)  mencegah  segala  bentuk kekerasan dalam rumah tangga; (2) melindungi korban kekerasan dalam rumah  tangga;  (3)  menindak  pelaku  kekerasan dalam rumah  tangga;  (5)  memelihara  keutuhan  rumah  tangga  yang  harmonis dan sejahtera.

Kekerasan terhadap perempuan, secara lebih spesifik sering dikategorikan sebagai  kekerasan berbasis  gender. Hal ini disebabkan kekerasan terhadap perempuan seringkali  diakibatkan  oleh  ketimpangan  gender,  yaitu  dengan  adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Hal ini antara lain dapat terefleksikan dari kekerasan dalam rumah tangga yang  lebih  sering  dilakukan  oleh orang  yang memiliki  kekuasaan  lebih  kepada  korban  yang  lebih  lemah.  Kekerasan  berbasis  gender  juga  terlihat  pada  kasus  perkosaan yang lebih sering  dilakukan  oleh  laki-laki  terhadap  perempuan daripada sebaliknya. Kekerasan berbasis gender ini memberikan penekanan khusus pada akar permasalahan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan, yaitu bahwa diantara pelaku dan korbannya terdapat relasi gender dimana dalam posisi dan perannya tersebut pelaku mengendalikan dan korban adalah orang  yang  dikendalikan  melalui  tindakan  kekerasan  tersebut.  Inilah  yang  dimaksud dengan ketimpangan historis  dalam  Deklarasi  Penghapusan  Kekerasan  terhadap Perempuan 1993.Kekerasan  berbasis  gender  ini  sebenarnya  tidak  hanya  difokuskan  kepada  perempuan  sebagai  korban, namun  juga  kepada  pelayan  laki-laki,  supir  laki-laki  atau  bawahan  laki-laki  lainnya.  Karena  dasar  dari  kekerasan  berbasis gender ini adalah ketimpangan relasi kekuasaan, maka yang menjadi penekanan adalah kekerasan yang dilakukan kepada pihak yang tersubordinasi kedudukannya4. Adapun penyebab yang menjadi asumsi terjadinya kekerasan terhadap  perempuan  diantaranya:

  1. Adanya persepsi tentang sesuatu dalam benak pelaku, bahkan seringkali yang mendasari tindak kekerasan ini bukan sesuatu yang dihadapi secara nyata. Hal ini dibuktikan dengan realitas di lapangan yang menunjukkan bahwa pelaku telah melakukan  tindak  kekerasan tersebut  tanpa  suatu  alasan  yang  mendasar;
  2. Hukum yang mengatur tindak kekerasan terhadap perempuan masih bias gender. Seringkali hukum tidak berpihak kepada perempuan yang menjadi korban kekerasan, ketidak-berpihakan  tersebut tidak saja berkaitan dengan substansi  hukum  yang  kurang  memperhatikan kepentingan perempuan atau si korban, bahkan justru belum adanya substansi hukum yang mengatur nasib bagi korban kekerasan, yang umumnya dialami perempuan;
  3. Ketentuan relasi gender dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga (Pasal 31 ayat (3)). Pasal ini jelas menempatkan seorang suami sebagai satu-satunya kepala keluarga. Oleh karenanya dialah yang berhak mengatas namakan kepentingan anggota keluarganya dalam setiap persoalan. Pasal ini merupakan salah satu Pasal yang mengandung bias gender,  karena  menempatkan  perempuan  (isteri)  pada  posisi  yang lebih rendah, berpadu dengan  mitos  yang  melekatkan  tanggung  jawab  pengendalian  reproduksi  pada  perempuan  dengan  tugas  domestiknya,  sehingga  secara  psikologis  dan  yuridis  seorang  suami  seakan-akan  dibolehkan melakukan kekerasan kepada anggota keluarganya, terutama kepada  isteri  dan  anak-anaknya.

Kekurangan  dari  undang-undang  ini  adalah  lingkup  pengaturan  yang  dibatasi hanya dalam cakupan domestik, yaitu mereka yang memiliki hubungan kekeluargaan  atau  berada  dalam  satu  domisili  yang  sama,  sehingga  tidak  dapat  diberlakukan  kepada  korban  yang  tidak  memenuhi  kategori  lingkup  domestik  tersebut.  Karenanya  sulit  untuk  mengatakan  bahwa  secara  umum  semua bentuk kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, ekonomi maupun kekerasan  seksual  (terutama  terhadap  korban  perempuan)  sudah  mendapat  pengaturan  di  dalam  hukum  pidana  Indonesia.  Meskipun  demikian,  dalam  pandangan  yang  progresif,  hakim  dapat  mempertimbangkan  diaturnya  jenis-jenis  kekerasan  tersebut  di  dalam  UU  PKDRT dari perspektif perlindungan terhadap korban kekerasan, sebagai salah satu  acuan  dalam  memutus  suatu  perkara  kekerasan  terhadap  perempuan.

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

Undang-undang Nomor Tahun  2006 tentang kewarganegaraan ini menggantikan  Undang-undang  Nomor  62  Tahun  1958  tentang  Kewarganegaraan. Undang-undang No. 62 Tahun 1958 secara filosofis, yuridis, dan sosiologis dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan  perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan Republik Indonesia. Secara filosofis, UU 62/58  masih  mengandung  ketentuan-ketentuan  yang  belum  sejalan  dengan  falsafah Pancasila, antara lain, karena bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan  persamaan  antarwarga  negara,  serta  kurangmemberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak. Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan undang-undang tersebut adalah UUDS 1950  yang  sudah  tidak  berlaku  lagi  sejak  Dekrit  Presiden  5  Juli  1959  yang  menyatakan kembali kepada UUD 1945. Dalam perkembangannya, UUD 1945 telah mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi  manusia  dan  hak warga negara. Secara sosiologis, UU tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan  perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat  internasional dalam pergaulan global, yang  menghendaki  adanya  persamaan  perlakuan  dan  kedudukan warga  negara di hadapan hukum serta adanya  kesetaraan  dan  keadilan  gender.

Diantara asas khusus yang menjadi dasar berlakunya UU Kewaganegaraan adalah  asas  non diskriminatif, yaitu berupa  tidak  membedakan  perlakuan  dalam  segala  hal  ikhwal  yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin, dan gender. Asas lainnya adalah asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi  manusia  dalam  segal  hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya.Pengaturan yang menghilangkan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin diantaranya adalah dibolehkannya seorang isteri, yang melakukan perkawinan campuran  berbeda  kewarganegaraan, untuk memilih kewarganegaraannya  sendiri.  Isteri  diperbolehkan  memilih untuk tetap dalam kewarganegaraan Indonesia atau pindah kewarganegaraan  mengikuti kewarganegaraan suaminya, sekalipun hukum negara asal suaminya, menuntut kewarganegaraan isteri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut (Pasal 26 ayat  (1)  dan  (3)).  Aturan dalam  UU Kewarganegaraan sebelumnya  (UU  62/1958) mengakibatkan seorang isteri kehilangan kewarganegaraan Indonesia apabila menikah  dengan  laki-laki  WNA,  karena  harus  mengikuti  kewarganegaraan  suaminya.

4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan  Orang  (PTPPO)

Perdagangan  orang  (trafficking in person)  sebenarnya  merupakan  hal  yang  sudah  ada  sejak  lama. Perdagangan orang ini sebenarnya berakar dari budaya perbudakan yang dipraktekkan sejak lama. Hal itu dapat dilihat, ketika bangsa kulit putih menangkapi orang-orang kulit hitam (orang  Negro) di  Afrika dan menjualnya ke pengusaha-pengusaha kulit putih di Amerika. Orang kulit hitam yang  dibeli  tersebut,  dijadikan  budak  oleh  para  pengusaha  kulit  putih di Amerika. Para budak ini menjadi milik pengusaha yang membelinya, dan  dapat  diperlakukan sekehendaknya. Sebagai  budak, tentu  mereka  tidak  mempunyai hak apa pun. Para budak ini hanya mengabdi kepada majikannya, seorang manusia tidak memiliki  kebebasan  hidup  sebagaimana  mestinya.

Di Indonesia dapat dilihat pada waktu dijajah Belanda. Rakyat Indonesia ketika itu kedudukannya tidak sama dengan orang-orang Belanda. Pembedaan rakyat  dalam  golongan-golongan Eropa, Bumiputera dan Timur Asing ditetapkan di dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling (I.S). Pembedaan rakyat dalam golongan-golongan ini tentu sangat  bertentangan dengan prinsip  hak  asasi  manusia. Pasal 163 I.S ini menjadi dasar dari  peraturan perundang-undangan, pemerintahan dan peradilan di “Hindia Belanda” dahulu. R. Supomo mengemukakan  pembedaan ini pada pokoknya  didasarkan  pada  jenis kebangsaan. Karena itu, terjadi “rasdiskriminasi” (pembedaan-pembedaan bangsa) di dalam perundang-undangan, pemerintahan dan peradilan “Hindia Belanda”.

Jumlah kasus perdagangan orang terus  bertambah dari tahun  ke  tahun.  Kedutaan Besar (Kedubes) RI di Kuala Lumpur pernah melansir jumlah pengaduan dari warga negara Indonesia (WNI) yang mengalami kasus perdagangan orang. Selama Maret  2005  hingga  Juli  2006,  data International Organization for Migration (IOM) menunjukkan, sebanyak 1.231  WNI  telah  menjadi korban bisnis perdagangan orang.  Meskipun tidak selalu identik dengan perdagangan orang, sejumlah sektor seperti buruh migran, pembantu rumah tangga (PRT) dan pekerja seks komersial ditengarai sebagai profesi yang paling rentan dengan human trafficking.

Definisi dari perdagangan orang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) UU PTPPO adalah: “Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan,  penampungan,  pengiriman,  pemindahan,  atau  penerimaan  seseorang  dengan  ancaman  kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisirentan,  penjeratan  uang  atau memberikan  bayaran  atau  manfaat, sehingga memperoleh  persetujuan  dari  orang  yang  memegang  kendali  atas  orang  lain  tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar  negara, untuk tujuan  ekspolitasi  atau  mengakibatkan  orang  tereksploitasi”.

Perdagangan orang adalah salah satu  bentuk  pelanggaran  HAM, karena  menghilangkan hak dasar yang seharusnya dimiliki setiap orang, yaitu hak atas kebebasan. Hal ini tentu saja melanggar berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional. Indonesia sendiri sebelum keluarnya UU PTPPO telah memiliki  beberapa  aturan  yang  melarang  perdagangan  orang.  Pasal  297  KUHP  misalnya,  mengatur  larangan  perdagangan  wanita  dan  anak  laki-laki  yang  belum  dewasa.  Selain  itu,  Pasal  83  UU  Nomor  23  tahun  2002  tentang  Perlindungan Anak (UUPA), juga  menyebutkan  larangan  memperdagangkan,  menjual,  atau  menculik anak untuk sendiri atau dijual. Namun peraturan-peraturan tersebut tidak merumuskan pengertian perdagangan orang secara tegas. Bahkan Pasal 297 KUHP  memberikan  sanksi  terlalu  ringan  dan  tidak  sepadan (hanya 6  tahun  penjara)  bila  melihat  dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang. Karena itu, sudah semestinya ada sebuah peraturan  khusus  tentang tindak  pidana  perdagangan  orang  yang  mampu menyediakan landasan hukum formil dan materiil  sekaligus.  UU  itu  harus  mampu  mengurai rumitnya  jaringan  perdagangan  orang  yang  berlindung  di  balik  kebijakan  resmi  negara.  Misalnya penempatan tenaga  kerja di dalam dan luar negri. Demikian juga pengiriman duta kebudayaan, perkawinan antarnegara, hingga pengangkatan anak. Keberadaan undang-undang ini merupakan bukti keseriusan Indonesia untuk mengurangi bahkan menghapuskan perdagangan orang  (trafficking in person).

 

5. Undang-Undang No. 2  Tahun  2008  tentang  Partai  Politik

Undang-Undang  No. 2 Tahun 2008 tentang Partai  Politik  yang  terakhir  telah  diubah  dengan  Undang-Undang  2  Tahun  2011  tentang  Partai  Politik  dan  Undang-Undang  No.  10  Tahun  2008  tentang  Pemilihan  Umum  Anggota  DPR,  DPD,  dan  DPRD  yang  terakhir  diganti  dengan  Undang-Undang  No.  8  Tahun  2012  tentang  Pemilihan  Umum  Anggota  DPR,  DPD,  dan  DPRD,  kedua  Undang-undang  ini  merumuskan  aturan  tentang  bentuk  diskriminasi  positif  (affirmative action)  berupa  kuota  30%  bagi  perempuan  di  ranah  politik  Indonesia.

Tindakan Khusus Sementara (Affirmative Action), yang diistilahkan dengan keterwakilan perempuan. Ani Widyani Soetjipto mendefinisikan secara umum affirmative action sebagai tindakan pro-aktif untuk menghilangkan perlakuan diskriminasi  terhadap  satu  kelompok  sosial  yang  masih  terbelakang.  Koalisi  Perempuan  Indonesia,  mengatakan  bahwa  affirmative action  merupakan  kebijakan, peraturan atau program khusus yang bertujuan untuk mempercepat persamaan  posisi  dan  kondisi  yang  adil  bagi  kelompok-kelompok  yang  termarjinalisasi  dan  lemah  secara  sosial  dan  politik,  seperti  kelompok  miskin,  penyandang  cacat,  buruh,  petani,  nelayan  dan  lain-lain,  termasuk  di  dalamnya  kelompok  perempuan.  Shidarta mengemukakan  bahwa  tindakan  affirmatif (affirmative action) diartikan sebagai upaya meningkatkan hak atau kesempatan bagi orang yang semula tidak/kurang beruntung (disadvantaged) agar  dapat  mengenyam  kemajuan  dalam  waktu  tertentu.

Affirmative action  juga  dapat  dijadikan  sebagai  suatu  koreksi  dan  kompensasi  atas  diskriminasi,  marginalisasi  dan  eksploitasi  yang  dialami  oleh  kelompok-kelompok  sosial  yang  tertinggal.  Koreksi  tersebut  dilakukan  dalam  memperoleh  kesempatan  dan  manfaat  yang  sama  guna  tercapainya  kesetaraan dan keadilan di semua bidang kehidupan, sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, pertahanan dan keamanan, yang kemungkinan besar sudah lama tidak pernah dinikmati oleh kelompok sosial yang tertinggal. Apabila  hal  ini  dihubungkan dengan ketertinggalan kaum perempuan, maka dalam mengejar ketertinggalan  tersebut  dapat  dilakukan  dengan  affirmative action. Hal  ini  sesuai  dengan  pendapat  Ani  Widyani Soetjipto yang mengatakan bahwa tujuan utama affirmative action terhadap perempuan, adalah untuk membuka peluang  kepada perempuan agar mereka  yang  selama  ini  sebagai  kelompok  marjinal bisa terintegrasi dalam kehidupan secara adil. Menurutnya, ciri semua tindakan affirmative action  adalah  sifatnya sementara.  Maksudnya  adalah  bahwa “ketika kelompok-kelompok yang dilindungi itu telah terintegrasi dan tidak lagi terdiskriminasi, kebijakan ini bisa dicabut karena lahan persaingan dan kompetisi telah cukup adil bagi mereka untuk bersaing  bebas”

Perjuangan perempuan dalam meningkatkan representasi perempuan di legislatif melalui affirmative action dapat dilakukan dengan melibatkan kaum perempuan  lebih  banyak  aktif  di  partai  politik. Memberdayakan perempuan dalam partai politik adalah merupakan langkah paling awal untuk mendorong agar kesetaraan dan keadilan bisa dicapai antara laki-laki dan perempuan di dunia publik dalam waktu tidak terlalu lama. Langkah ini diperlukan agar jumlah perempuan di lembaga  legislatif  bisa  seimbang  jumlahnya  dengan laki-laki. Pada affirmative action, yang  dianalisa adalah persoalan diskriminasi di tingkat kelompok sosial tertentu. Dalam konsep ini, tindakan non-diskriminatif itu  harus  memperhatikan  karakteristik  yang  ada  dalam institusi-institusi  seperti gender  atau  ras. Secara  tekstual  kata  affirmative action  tidak ditemukan dalam UUD 1945 maupun peraturan pelaksanaannya. Landasan  konstitusional  untuk  affirmative action  di  Indonesia  adalah  Pasal  28  H   ayat  (2) dan 28 I  ayat (2) UUD 1945. Hal  itu  dapat ditafsirkan  dari  kata  “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus…dst” dan “Setiap orang  berhak bebas dari perlakuan  diskriminatif  atas  dasar  apa  pun …dst”. Memberi kemudahan dan perlakuan khusus dalam membebaskan orang dari perlakuan diskriminatif dapat dilakukan melalui tindakan affirmatif. Dengan demikian, tindakan affirmatif mempunyai dasar konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi  Manusia. Pasal 46 menjelaskan tentang keharusan sistem Pemilihan Umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif meningkatkan partisipasi keterwakilan perempuan.

Peningkatan  sumberdaya  perempuan di dalam partai politik diharapkan dapat mempermudah pemenuhan kuota 30% tersebut. Namun, pencantuman sistem kuota dalam  peraturan perundang-undangan akan menjadi mubajir apabila kaum perempuan itu sendiri tidak mau berjuang dengan meningkatkan kemauan dan kemampuannya dalam bidang politik.

6. Inpres Nomor  9  Tahun  2000  tentang  Pengarustamaan  Gender  (PUG)

Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender (PUG) seluruh sendi kehidupan bernegara. Dalam konsideran Inpres ini disebutkan dua  hal,  yaitu:

  1. Bahwa dalam rangka meningkatkan kedudukan, peran, dan kualitas perempuan, serta upaya  mewujudkan kesetaraan dan  keadilan gender  dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dipandang perlu melakukan strategi pengarusutamaan gender  ke  dalam  seluruh  proses  pembangunan  nasional;
  2. Bahwa pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses pembangunan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan fungsional semua instansi dan lembaga pemerintah di  tingkat  Pusat dan Daerah.

Inpres ini menjadi dasar adanya berperspektif gender bagi seluruh kebijakan dan program pembangunan nasional, tanpa kecuali. Baik kebijakan di pusat maupun di daerah haruslah berperspektif gender, apabila tidak maka kebijakan tersebut harus  diganti.

7. Kerpres No. 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap  Perempuan  atau  Komnas  Perempuan  yang  diubah  dengan  Perpres  Nomor  65  Tahun  2005

Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan adalah mekanisme nasional untuk penegakkan Hak Asasi Manusia perempuan Indonesia. Komnas Perempuan lahir dari rahim pergulatan gerakan perempuan Indonesia dan merupakan  jawaban pemerintah RI terhadap tuntutan gerakan perempuan agar negara  bertanggungjawab  terhadap  kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan selama konflik dan kerusuhan Mei  1998. Presiden Habibie meresmikan pembentukan Komnas Perempuan  melalui  Keppres  Nomor 181 tahun 1998, yang kemudian diubah dengan Perpres Nomor 65 tahun 2005.

Pembentukan Komnas Perempuan berdasarkan  Pasal  1  Perpres  Nomor 65  Tahun  2005  adalah, “Dalam rangka pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan  terhadap perempuan serta penghapusan  segala  bentuk  tindak  kekerasan  yang  dilakukan  terhadap perempuan” Adapun tujuan dari Komnas Perempuan  sesuai Pasal 2 adalah untuk:

  1. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap  perempuan  dan  penegakan  hak-hak  asasi  manusia  perempuan  di  Indonesia;
  2. Meningkatkan upaya  pencegahan  dan  penanggulangan  segala  bentuk  kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia perempuan.Komnas  Perempuan  adalah  salah  satu  lembaga  negara  yang  bersifat    Adapun  tugas  dari  Komnas  Perempuan  sesuai  Pasal  4  Perpres  Nomor  65  Tahun  2005  adalah:
  3. Menyebarluaskan pemahaman atas segala  bentuk  kekerasan  terhadap  perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan serta  penghapusan  segala  bentuk  kekerasan  terhadap  perempuan;
  4. Melaksanakan pengkajian  dan  penelitian  terhadap  berbagai  peraturan  perundang-undangan yang berlaku serta berbagai instrumen internasional yang relevan bagi  perlindungan hak-hak asasi manusia  perempuan;
  5. Melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak asasi manusia perempuan serta penyebarluasan hasil;
  6. Pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban  dan  penanganan;
  7. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif dan yudikatif serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya  pencegahan dan  penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan  Indonesia  serta  perlindungan,  penegakan,  dan  pemajuan  hak-hak  asasi  manusia  perempuan;
  8. Mengembangkan kerja sama regional dan intemasional guna meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia  serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak-hak asasi  manusia

Mengacu pada mandat Perpres Nomor  65  Tahun 2005  maupun  Rencana  Strategis  Komnas  Perempuan 2007-2009, kelima subkomisi serta perangkat kelembagaan lainnya Kesekjenan, Dewan Kelembagaan, Gugus Kerja dan Panitia Ad Hoc) telah melaksanakan program &  kegiatan  yang  mencakup  enam (6)  area atau isu utama, yaitu: (1) Pemantauan & pelaporan HAM perempuan; (2) Penguatan penegak hukum & mekanisme  HAM  nasional; (3) Negara,  agama  dan  HAM perempuan; (4) Mekanisme HAM internasional; (5) Peningkatan  partisipasi  masyarakat; dan (6) Kelembagaan.

Perkawinan sejatinya menyatukan dua orang yang berbeda yang memilih untuk bersama, namun seringkali pertengkaran yang terjadi antara suami istri menjadi sebab keduanya berpisah dan bercerai. Baik perceraian karena istri menggugat cerai suaminya ataupun sang suami yang mengajukan permohonan ikrar talak untuk istrinya. Sebagaimana perkawinan melahirkan akibat hukum, perceraian juga melahirkan akibat hukum bagi keduanya, salah satunya adalah ditetapkannya kewajiban atas suami untuk memberikan hak istri yang diceraikan. Persoalan akibat hukum dalam perceraian merupakan persoalan pemenuhan hak yang dibebankan oleh hakim kepada suami atas istri yang diceraikannya, karena sejatinya Perceraian dianggap ada jika dilakukan dihadapan Persidangan, sehingga pemenuhan hak terhadap istri yang diceraikan diatur oleh Undang-Undang dan dilbebankan melalui putusan hakim. Namun, ketentuan kewajiban suami memberikan hak istri baik nafkah, maskan, dan kiswah hanya berlaku bagi istri yang ditalak suami, dan tidak berlaku bagi istri yang menggugat suami. Sebagaimana dalam UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 149 huruf b menyebutkan bahwa bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberi nafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas istri selama masa iddah. Kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Nafkah dalam hal ini meliputi nafkah iddah istri maupun anak jika sudah memiliki anak, sedangkan maskan adalah tempat tinggal dan kiswah adalah pakaian, sehingga selama menjalani masa iddah (menunggu), kebutuhan istri dalam ketiga hal tersebut masih menjadi kewajiban suami.

Sebagaimana tujuan pemberlakuan hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum dengan penegakan hukum yang seharusnya. Jaminan terhadap pemenuhan hak serta pemenuhan hak adalah satu kesatuan dari penegakan keadilan itu sendiri. Dalam Undang- Undang No. 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 50 Tahun 2009 tentang Pengadilan Agama, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman ataupun dalam Undang-Undang lain tidak diatur tentang tata cara atau akibat hukum dari tidak terpenuhinya hak yang dibebankan hakim kepada suami yang mentalak istrinya. Dalam artian, apabila suami tidak memberikan nafkah, kiswah dan maskan bagi istri yang ia ceraikan, maka tidak ada sanksi hukum yang akan menjeratnya. Dalam banyak kasus misalnya, pemenuhan hak istri yang tidak dilakukan sebelum pengucapan ikrar talak seringkali hanya menjadi putusan saja tanpa ada realisasi atau itikad baik dari suami untuk memenuhi kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, sehingga hak- hak perempuan yang diceraikan menjadi tidak terpenuhi, oleh karena itu Pengadilan Agama sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang untuk menegakkan keadilan bagi semua masyarakat pencari keadilan.

Sekilas, persoalan pemenuhan hak istri yang tidak memiliki sanksi hukum terkesan tidak adil, namun berbeda dengan realita yang terjadi bahkan hampir di seluruh Pengadilan Agama di Indonesia. Logikanya pemenuhan nafkah terlebih nafkah iddah adalah ketika istri menjalankan masa iddah, yakni 3 kali suci. Dimana, realisasi tersebut setidaknya diberikan setelah putusnya perkawinan ditandai dengan diucapkannya ikrar talak dihadapan persidangan. Namun, dalam realitanya, Majelis Hakim tidak akan memberikan izin bagi suami yang akan mentalak istrinya sebelum kewajiban yang dibebankan padanya dipenuhi terlebih dahulu. yakni pemenuhan terhadap hak yang dibebankan lebih diutamakan daripada putusnya perkawinan itu sendiri, Jika tidak, maka pengucapan ikrar talak akan ditunda sampai dengan ia bisa memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya atau jika istri berkehendak lain, dan hal tersebut merupakan bagian dari kepedulian terhadap perempuan dan hak-hak yang telah melekat padanya. Pemenuhan hak istri yang diceraikan sebelum pengucapan Ikrar Talak telah mendapat kekuatan hukum yuridis, dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.3 Tahun 2017 dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan Dengan Hukum.

Dimana kedua peraturan tersebut telah memberikan jaminan pemenuhan hak istri yang diceraikan, bahkan lebih luas daripada itu, peraturan tersebut juga berbicara tentang bagaimana mengadili perempuan yang berhadapan dengan hukum serta pemenuhan terhadap hak-hak yang melekat padanya. Dengan dikeluarkannya PERMA dan SEMA tersebut, maka persoalan pemenuhan hak-hak istri yang diceraikan oleh suaminya mendapatkan kekuatan hukum, selama ini secara normatif hal tersebut belum diatur, meskipun dalam prakteknya pemenuhan terhadap hak-hak istri yang diceraikan suaminya menjadi hal penting yang tidak luput dari perhatian para aparatur penegak hukum. Penegakan terhadap hak-hak perempuan yang sudah dijamin oleh Undang-Undang menjadi bagian tidak terpisahkan dari penegakan keadilan secara universal.

  • Disclaimer

Seluruh isi data dan informasi dalam Legal Brief ini merupakan kompilasi dari sumber-sumber terpercaya. Legal Brief ini tidak dimaksudkan dan tidak seharusnya dianggap sebagai nasihat atau opini hukum. Tidak disarankan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang ada pada layanan ini tanpa mencari layanan profesional terlebih dahulu.

Penutup

Jika Anda memiliki pertanyaan atau memerlukan lebih lanjut konsultasi mengenai legal brief ini, silakan menghubungi kami di :

Post Tags :

Leave a Comment

About S&P Law Office

S&P are passionate about helping our clients through some of their most challenging situations. We take a practical approach to your case, and talk with you like a real person. With each and every client, we aim to not only meet, but to exceed your expectations.

Recent Post

error: Content is protected !!